ada satu hal (nggak) penting yang lagi sering gue pikirin belakangan ini.

kadang-kadang gue bingung bagaimana harus menyikapi seseorang yang nyebelin yang ada dalam hidup gue. i mean seseorang dengan tindakan nyebelin yang berpengaruh terhadap gue atau at least terhadap perasaan gue secara langsung. jadi bukannya gue bingung bagaimana harus menghadapi George Bush yang notabene nyebelin dan merugikan. well, i bitch him everytime. tapi dia kan tidak berpengaruh terhadap gue secara langsung.

maksut gue adalah situasi2 seperti :

1. some of my bestfriends keep judging my dressing style. walopun gak semua, tapi suka masih adaaa aja temen2 yang ngejudge cara berpakaian gue begini atau begitu. mungkin tidak dengan kata-kata. but, hello! mata berbicara banyak, kawan.

2. ketika gue lagi pengen spend quality-me-time, pengen sendiri, pengen merayakan privasi, ada aja yang ‘masuk’ atau violating. either di kos, di rumah, di mana kek.

3. ketika sebuah pembagian penting (maksut gue bukan sekadar pembagian kue) antara gue dengan orang lain tidak seimbang.

4. ketika gue (seringkali) TERJEBAK di tengah2 organisasi, kelompok, atau kepanitiaan which some people in it are easily disliked by me, but as if other people can’t see anything wrong with them. euww…

5. dsb. haha.

yang gue bingungkan adalah : bagaimana gue harus bersikap?
a). gue telan kekesalan tersebut sendiri. mencoba mencari HIKMAH dari hal-hal menyebalkan tersebut, dan membalas semua keburukan dengan kebaikan sebagaimana selalu diajarkan oleh nyokap gue. well, gue sendiri juga yakin kalo kita baik sama orang, orang pun baik sama kita. pilihan ini adalah yang paling sering gue lakukan. tapi belakangan ini kadang2 gue sampai pada satu titik dimana kebaikan itu gue pertanyakan sendiri : am i being hypocrite?
gue bersikap baik sama orang itu tapi gondoknya kayak nelen biji dondong dan bisa sampe bikin gue nangis karena kesel sendiri. huekk huekk..
lagian, emang sih orang akan menilai gue baik. tapi ga tertutup juga kemungkinan bahwa orang akan menilai gue ‘bisa dimanfaatkan’. ya toh?

b). gue menunjukkan kekesalan gue dan lebih ‘bersikap’. kata mr toraja dan beberapa temen2 peer group gue, gue harus lebih berani nolak, ngomong, atau nunjukkin ketidaksukaan gue. ya misalnya gue bilang “gue lagi pengen sendiri”, atau “eh gue nggak ngerasa adil nih begini”, atau ngebales ejekan dengan sindiran atau sinisme seperti “biar aja baju gue aneh, yang penting gue punya otak” dan masih banyak lagi. kayak misalnya bersikap rada jutek, sedikit bitching, atau apapun lah. belakangan ini mental kayak gini udah mulai tumbuh sih. soalnya gue belajar banyak dari temen2 peer group gue yang emang moderat dan menjunjung hak manusia untuk merasa bahagia (haha!). kedengerannya gampang emang. tapi beberapa kali abis gue bersikap demikian, gue bakal ngerasa ngga enak sendiri dan bisa sampe ngga tidur mikirin orang itu sakit hati apa enggak yah gue gituin. bahkan pernah gue ampe nangis karena merasa saaangat jahat telah bersikap demikian. sick.

c). gue mencekik orang yang nyebelin itu, setelah itu gue bebas membakarnya hidup2, atau menembaknya dengan shotgun benelli tepat di kepala. just in my mind, just in my mind, just in my mind.

Jadi, mendingan nelen biji dondong sendirian trus nangis?
apa mendingan jadi nenek sihir terus nangis?
kalo nelen biji dondong, gimana biar gak sakit2 amat?
kalo jadi nenek sihir, gimana biar nurani gue bisa tumpul?
kalo harus seimbang, gimana supaya seimbang?
apa emang mendingan tembak pake benelli? uuuu yeeeeeaaaahh!