Last Day in Tokyo

1 September 2015.

Wuih, hari terakhir di Tokyo. Berhubung kami akan menuju Kyoto kemudian pulang  dari KIX, Osaka dan tidak kembali lagi ke Tokyo, maka saya dan suami berusaha menikmati hari terakhir ini dengan lebih khusyu. Tak lupa, kami janji ketemuan lagi dengan Satoko.

Karena perjalanan masih cukup panjang dan kami harus menunggu sampai jam 11 malam untuk naik bus ke Kyoto, saya dan suami pun memutuskan untuk memesan takkyubin atau takuhaibin, yaitu jasa pengiriman barang door-to-door di wilayah Jepang. Semacam JNE atau TIKI, tetapi di Takkyubin jam ketibaan barang di tempat tujun bisa kita atur.  Pemesanan Takkyubin bisa dilakukan di Lawson atau hotel tempat kita menginap dengan mengisi formulir. Pastikan alamat tujuan lengkap dan jelas. Merk Takkyubin yang paling terkenal adalah Kuroneko dengan logo sesuai namanya yaitu kucing hitam.

Urusan koper sudah beres. Rute pertama kami adalah ke Masjid Tokyo Camii, masjid terbesar di Tokyo dengan desain khas Turki. Kami turun di Stasiun Yoyogi-Uehara dan jalan kaki sekitar 10 menit ke masjid. Masjid yang juga menempel dengan gedung Turkish Cultural Center ini memang cantik sekali. Ukurannya yang agak mungil membuat masjid ini seolah menjadi miniatur masjid-masjid besar di Turki.

0 camii
Tokyo Camii yang Ciamik.

Hari mendekati siang dan kami mulai lapar. Saya dan suami mengikuti catatan kami untuk ke Sakura Hatagaya Hotel, dengan asumsi ada kedai atau restoran halal di dekat sana. Sayangnya, begitu kami sampai sana, ada seorang tamu hotel muslim yang ramah memberi tahu kami bahwa tidak ada restoran atau kedai di hotel maupun sekitarnya. Di peta pun nampaknya tidak ada yang dekat.

Setelah berjalan sambil harap-harap cemas, kami menemukan sebuah kedai Turki yang menjual makanan halal. Kami memutuskan untuk makan siang di sana. Kedai di pinggir jalan itu ukurannya juga mungil sekali, hanya diisi 4-5 meja makan yang agak berdesakan. Berhubung ada masjid terbesar di sini, di tengah jalan kami banyak bertemu dengan saudara-saudara muslim lain dari berbagai bangsa. Biasanya kami bertukar senyum, anggukan, hingga salam.

0 makan.jpg
Makanannya enak, tapi nama restorannya lupa.

Dari sini, kami bertolak ke Shibuya yang lagi-lagi bukanlah tujuan utama tetapi kami sempat-sempatkan saja. Penasaran juga ingin melihat patung anjing Hachiko di depan stasiun Shibuya yang super ngehits itu.

Begitu sampai sana, ternyata kecil ya patungnya. Hahaha. Mungkin memang dibuat seukuran anjing Hachiko yang sebenarnya. Yang paling menarik perhatian kami justru adalah Shibuya Scramble Crossing, salah satu persimpangan dan penyeberangan jalan tersibuk di dunia. Jika sedang waktunya, orang-orang yang menyeberang dari 5 jalan berbeda itu bisa berjumlah hingga 2500 orang, lho!

0 shibuya.jpg
Shibuya.

Puas mengeksplorasi Shibuya -dan iseng menyeberangi Scramble Crossing sampai berkali-kali- kami agak kebingungan mau ngapain lagi mengingat waktu keberangkatan bus ke Kyoto masih jam 11 malam. Janjian dengan Satoko di Tokyo Metropolitan Government Building (TMG) pun baru sehabis maghrib.

Oleh karena itu kami memutuskan untuk kembali lagi ke Yoyogi Uehara untuk jajan dan nongkrong di masjid karena nyaman.

Selepas Maghrib, saya dan suami berangkat ke TMG. Kami bertemu Satoko di pintu stasiun. Imut banget, Satoko mendatangi kami sambil bersepeda karena ternyata rumahnya di dekat situ. Kami naik ke lantai 45 (kalau tidak salah) gedung TMG yang merupakan kantor pemda Tokyo ini. Di lantai tersebut ada Observation Deck dengan dinding kaca yang memfasilitasi kita untuk melihat pemandangan kota Tokyo secara 360 derajat dari ketinggian 202 meter.

0 tmz.jpg
Niat mata anime kenapa malah serem?

Di TMG ini juga banyak sekali penjual suvenir dan pernak-pernik. Saya belanja cukup banyak di sini. Best buy nya adalah ID Card Holder berbentuk pita Sailor Moon. Duh, senangnya! ❤

Turun dari TMG, Satoko mengantarkan kami sampai ke dalam stasiun. Kami memang mau naik kereta menuju Terminal Bus Willer Express di daerah Shinjuku. Di dalam stasiun, saya ketemu dengan pintu yang menurut saya aneh sekali. Pintu bertuliskan exit itu menempel berbanding lurus dengan dinding, dan tidak membuka ke ruangan lain atau kemana-mana. Hanya berdiri saja di situ. Apa fungsinya?

Ternyata menurut Satoko, jika terjadi kondisi darurat seperti kebakaran, gempa, kericuhan, dan lain-lain, ada saat-saat dimana area stasiun harus diisolir. Saat itulah, dinding-dinding baja akan turun dari atap dan menutup semua jalan. Pintu kecil yang saya lihat itu berfungsi untuk keluar masuk orang kalau semua dinding baja sudah menutup. Wah, belum ada di Indonesia.

a stasiun.jpg
Secara random, saya tambahkan juga gambar poster-poster Matsujun yang kebetulan kami temukan di stasiun. Walaupun dia bukan idola saya sih, hahaha.

Kereta melaju membawa kami ke Stasiun Shinjuku yang sampai malam pun masih sibuk. Dari stasiun, kami berjalan kaki menuju terminal. Di tengah jalan, kami sempatkan untuk membeli bekan makan dan minum di Family Mart.

Di terminal bus, ada toilet yang menurut saya saat itu unik banget, karena dilengkapi dengan tombol yang mengeluarkan bunyi air mengalir. Saya pernah baca tentang toilet semacam ini. Fungsinya untuk menyamarkan bunyi-bunyi yang tidak diinginkan saat buang air. Hahahaha. Boleh juga.

0 bus.jpg
Toilet nyaman, bus lebih nyaman.

Kami memang memesan bus yang harganya agak lumayan, supaya tidurnya lebih nyaman. Benar saja. Bangkunya nyaman, empuk, dan bisa direbahkan sampai rendah sekali. Ponsel kami yang mulai redup-redup cantik pun bisa dicas sampai penuh di colokan yang ada.

Alhamdulillah, hingga subuh kami tiba di Kyoto, kami tidak terbangun sedikit pun. Entah karena saking nyamannya, atau saking lelahnya 😀

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s